ERDIKHA MORNING IDEA Thursday, September 1, 2022
View PDF
01 Sep 2022

MARKET REVIEW & IHSG OUTLOOK

Indeks pada perdagangan kemarin ditutup menguat ke level 7178. Indeks ditopang oleh sektor Financials (1.593%), Healthcare (0.755%), Transportation & Logistic (0.476%), Infrastructures (0.33%), Industrials (0.118%), Basic Materials (0.099%), Energy (0.08%), kendati sedikit dibebani oleh sektor Consumer Non-Cyclical (-0.072%), Consumer Cyclicals (-0.174%), Properties & Real Estate (-0.53%), Technology (-1.339%). Indeks pada hari ini diperkirakan akan bergerak pada range level support 7130 dan level resistance 7220.

Sentimen pertama yaitu dari negara-negara barat yang mengalami inflasi tinggi kini harus menghadapi risiko resesi. Sebab, bank sentralnya sangat agresif menaikkan suku bunga. Inflasi di zona euro yang menembus 9,1% (yoy) membuat ECB diperkirakan akan mengerek suku bunga sebesar 75 basis poin di bulan ini. Jika dilakukan, maka ECB akan menyusul bank sentral AS (The Fed) yang sudah lebih dulu menaikkan sebesar itu. Bahkan, sinyal kenaikan yang agresif dikatakan langsung oleh anggota dewan gubernur ECB, Madis Muller. Ia menyebut ECB seharusnya mulai mendiskusikan kenaikan 75 basis poin di bulan September. Ketika suku bunga tinggi, maka ekspansi dunia usaha akan melambat, begitu juga dengan konsumsi masyarakat. Alhasil, dengan demand yang menurun, maka inflasi pada akhirnya juga turun. Semakin merosot ekspansi dunia usaha dan konsumsi masyarakat, maka resesi akan terjadi. Ketika resesi terjadi, inflasi akan turun lebih cepat. Jadi resesi yang menyebabkan inflasi menurun lebih baik ketimbang menghadapi inflasi yang tinggi selama bertahun-tahun. Kebijakan tersebut yang ditempuh bank sentral dunia saat ini, seperti The Fed meski tidak secara gamblang menyebutkan hal tersebut. Ketua The Fed, Jerome Powell, pada pekan lalu mengatakan perekonomian AS akan merasakan "beberapa rasa sakit", tetapi jika gagal menjinakkan inflasi maka kerusakan perekonomian yang lebih besar akan dirasakan. Philip Marey, analis dari Rabobank juga mengatakan resesi merupakan satu-satunya jalan untuk bisa menurunkan inflasi. Artinya, resesi memang berdampak buruk bagi pasar finansial dalam jangka pendek, tapi dalam jangka panjang jika inflasi akhirnya turun, maka akan berefek bagus. Penurunan harga minyak mentah akan disambut baik. Sebab, salah satu pemicu tingginya inflasi di tahun ini adalah harga energi yang meroket gila-gilaan. Jebloknya harga minyak mentah tentunya bisa menurunkan tekanan inflasi energi.

Sentimen kedua yaitu dari dalam negeri, selain penantian pengumuman kenaikan Pertalite dan Solar, rilis data purchasing managers' index (PMI) manufaktur serta inflasi juga akan menjadi perhatian. Pada Juli, PMI manufaktur tercatat sebesar 51,3, naik dari bulan sebelumnya 50,2. Sektor manufaktur Indonesia sudah 11 bulan beruntun berekspansi, jika berhasil diperpanjang lagi bahkan dengan lebih tinggi, tentunya akan menjadi sentimen positif bagi pasar finansial. Selain itu, Badan Pusat Statistik (BPS) akan merilis data indeks harga konsumen (IHK). Bukan inflasi tapi diperkirakan terjadi deflasi pada Agustus. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 14 institusi memperkirakan pergerakan IHK pada Agustus akan turun atau mencatatkan deflasi sebesar -0,11% dibandingkan bulan sebelumnya (month to month/mtm). Jika ramalan ini benar maka ini akan menjadi deflasi pertama sejak Februari 2022. Namun, inflasi secara tahunan (year on year/yoy) masih akan tinggi dan menembus 4,83% pada Agustus, melandai dari sebelumnya 4,94%. Inflasi kini menjadi masalah utama di perekonomian dunia. Inflasi yang terlalu tinggi bisa berdampak buruk ke daya beli masyarakat. Di Indonesia inflasi pangan yang menjadi perhatian. Sebab pada bulan Juli kenaikannya lebih dari 11% dan menjadi yang tertingggi dalam 8 tahun terakhir. Sehingga, ketika terjadi deflasi bisa menjadi angin segar, dan bisa menjadi sentimen positif ke pasar finansial. (source : CNBC Indonesia)